Assalamualaikum Wr. Wb. Selamat datang di blog "بسم الله" Terima kasih Ya Allah atas rizki yang telah Engkau berikan.

Minggu, 19 Mei 2013

Best Friend Till Jannah

Putihku
Aku tidur di atas pasir dengan kedua telapak tangan yang menjadi penyangga. Saat itu, hanya tatapan kosong yang tercipta. Dan dia berhasil menghipnotisku atas keindahan yang dipancarkannya. Aku menikmati suara deburan ombak yang begitu merdu. Batu karang yang berada di sebelah kiri dan kanan seolah siap menahan deburan ombak yang datang setiap saat. Pasirpun tak ragu memberikan tapaknya atas apa yang aku pijak. Tapi, pasir tak dapat sepenuhnya memenuhi pijakanku karena setiap saat ombak menerpa dan menghapus semuanya. Pantai yang indah itu tak sanggup aku jelajahi sepenuhnya. Hanya bahagia, damai, dan tentram yang dapat aku rasakan. Sungguh tak terlukiskan karya tangan Allah yang begitu romantis ini.
Apakah kertasku akan seperti pantai itu ? yang hanya tertuliskan kebahagiaan, keindahan, kedamaian, dan penuh kenikmatan ? aku hanya berharap kertasku tak tertuliskan tinta kekecewaan, sakit, dan derita. Tapi aku tak dapat mengatur kehidupanku sendiri, ada zat yang lebih berhak mengatur segalanya. Zat itu adalah Allah SWT. Aku hanya seorang hamba dititipkan sepucuk surat amanah yang berisi perintah untuk selalu berikhtiar di jalan-NYA. Aku memutuskan untuk berhenti memikirkan hal itu dan kembali menikmati indahnya pantai.
Kriiiinnngggg…!
Bunyi jam beker berhasil membangunkan Jidan yang sedang berjelajah dalam indahnya bunga tidur. Jidan pun langsung melirik ke arah jam yang ada di samping kasur.
“Alhamdulillah masih jam setengah 4, masih bisa shalat lail.” ucap Jidan.
Tak sedikitpun tersirat dalam benak Jidan untuk menunda melaksanakan shalat yang tak pernah dilewatkan oleh Nabi Muhammad SAW. Menikmati kesendirian dan bermesraan dengan Sang Pencipta melalui dzikir, lantunan ayat suci, dan doa membuat Jidan tak henti-hentinya meneteskan air mata. Jidan yang sedang menikmati lezatnya ibadah membuatnya terbawa sampai dipenghujung sepertiga malam, menandakan bahwa tak lama lagi azan subuh akan dikumandangkan. Setelah azan dikumandangkan, Jidan segera menuju ke bawah dan segera menuju masjid untuk melaksanakan shalat subuh berjamaah.
“Bu, Jidan pergi ke masjid dulu ya, Assalamualaikum.” ucap Jidan kepada ibunya seraya meminta izin dengan nada cepat dan tergesa-gesa. Seakan tak ingin tertinggal satu rakaat pun.
“Iya hati-hati ya nak. Waalaikumsalam.” jawab ibu Jidan dengan nada lemah lembut dan penuh dengan senyum kebanggaan.
Itulah buah dari didikan kedua orang tua Jidan. Yang bisa dibilang sudah mendarah daging dalam dirinya. Tak sedikit ajaran agama yang ditanamkan di dalam diri Jidan. Kedua orang tua Jidan tak berharap penuh kepada kesuksesannya menggapai cita-cita, yang paling mereka dambakan hanyalah anak yang saleh. Dan satu kalimat yang selalu ada di hati ibu Jidan disaat-saat seperti ini adalah “Anaku penyejuk hatiku”. Tak lama kemudian Jidan datang dengan mengetuk pintu.
“Assalamualaikum..” salam Jidan.
“Waalaikumsalam wr.wb. Jidan”
“Bu, ayah kemana sih?” Jidan bertanya dengan sedikit bingung.
Hal pertama yang menjadi kebiasaan saat Jidan pulang dari mesjid adalah saat itu juga ayahnya sudah pergi kerja. Keinginan Jidan untuk bisa mengantarkan ayahnya pergi sampai gerbang rumah belum bisa tersampaikan.
“Kok ayah pergi kerjanya pagi banget bu ?” tanya Jidan dengan heran.
“Ayah kamu kan naik jabatan di kantornya, itu yang meyebabkan tanggung jawabnya semakin besar. Kalo kamu mau ketemu kan bisa malam nanti.” jelas ibu Jidan.
“Jidan ngerti kok, bagaimanapun ayah lakukan ini untuk kebaikan kita semua.”
“Nah, itu kamu ngerti. Ibu masak dulu ya untuk sarapan kamu pagi ini.” ucap ibu.
Inilah kebiasaan ibu Jidan, setelah subuh usai beliau bergegas menuju dapur untuk membuat sarapan. Ibu tahu hari ini Jidan harus pergi ke sekolah lebih pagi dari biasanya, karena hari ini adalah tahun ajaran semester baru. Belum selangkah ibu Jidan melangkah menuju dapur tiba-tiba ada tangan yang memegang lengan ibu Jidan.
“Engga perlu bu, Jidan bisa kok bikin sarapan sendiri.Lebih baik sekarang ibu siap-siap buka toko kan udah mau terang.” ucap Jidan dengan lemah lembut mencegah ibunya untuk membuat sarapan.
“Iya, makasih ya nak. Kalu begitu ibu siap-siap dulu ya.”
“Iya, sama-sama bu.”
Saat itu, Jidan segera menuju ke kamarnya. Teringat bahwa ia belum sempat menyiapkan segala perlengkapan sekolah yang harus dibawa hari ini seperti buku, kalkulator, alat tulis, dan masih banyak lagi. Setelah meyiapkan segala perlengkapan untuk sekolah, Jidan duduk di pinggir kasurnya dan sambil melihat jam.
“Alhamdulillah masih jam 05.15, masih bisa baca almatsurat.”
Hal kedua yang membuat Jidan beda banget sama pelajar lainnya. Dia tidak pernah menunggu waktu sekolah dengan tidur. Jidan selalu berusaha melakukan hal-hal posotif untuk mengawali harinya. Dan kegiatan yang tak pernah dilewatkannya selepas subuh adalah berdzikir dengan membaca al-matsurat. Setelah 10 menit Jidan membaca al-matsurat, ia pun bergegas menuju kamar mandi. Tak lama setelah itu, Jidan langsung menuju ke kamarnya dan segera memakai seragam hari Senin. Astagfirullah, belum bikin sarapan. Terpikir dalam otak Andi bahwa dia belum membuat sarapan dan segera menuju dapur saat itu juga.
“Bu, telor abis ya? tanya Jidan kepada ibunya sambil membuka pintu kulkas.
“Iya, ya sudah ibu beli dulu di warung sebentar ya nak.” jawab ibu sambil terburu-buru.
Lagi-lagi Jidan mencegah ibunya untuk pergi ke warung. Hal ketiga yang sangat Jidan tidak sukai adalah melihat ibunya bersusah payah untuknya.
“Ga usah bu, kan masih ada bahan makanan yang lain. Nah sekarang giliran Jidan yang masakin sarapan buat ibu hehe.” jawab Andi dengan sedikit menyeringai.
“Iya, makasih ya sayang.” jawab ibu
Jidan yang tidak mengetahui teknik memasak yang pada akhirnya hanya menggoreng tahu dan ikan saja. Berbekal sedikit malu dan tanpa ragu Jidan membawa makanan hasil kreasinya ke meja makan.
“Yaahh bu, maaf ya cuma bisa masak ini aja.” keluh Jidan yang sedikit kecewa atas apa yang ia masak.
“Jidan, apapun yang kamu masak insyaallah ibu akan makan kok.” Jawab ibu sambil sedikit menasehati Jidan.
Menikmati saat-saat kebersamaan bersama ibunya sangat dinikmati oleh Jidan. Walaupun ketidak lengkapan yang dirasakan Jidan tanpa ayahnya. Ia pun terhanyut dalam suasana meja makan yang penuh dengan canda dan tawa. Saat Jidan melihat jam tangan, ia pun tersedak karena kaget melihat waktu yang berjalan begitu cepat.
“Bu, Jidan pergi sekolah dulu ya. Assalamualaikum.” izin Jidan sambil berlari menuju pintu gerbang.
“Waalaikumsalam, hati-hati ya nak.”
Baru sampai ke pintu gerbang rumah, Jidan bahwa ada sesuatu yang ditinggalkannya. Dengan cepat Jidan berlari masuk ke dalam rumah.
“Astagfirullah, ada apa nak?” tanya ibu yang sedikit kaget melihat Jidan kembali ke rumah sambil berlari terengah-engah.
“Ada yang lupa bu….”
“Kamu nih, makasih ya sayang. Hati-hati ya, jangan ngebut” ibu mengucapkan terimakasih sambil terseyum manis kepada Jidan.
“Assalamualaikum bu.”
Hal keempat yang tidak pernah Jidan lewatkan sebelum ia pergi ke sekolah adalah cium tangan ibu, meluk ibu, cium pipi kanan, lalu kiri, hidung Jidan yang menyentuh hidung ibunya, dan diakhiri dengan mengucapkan salam. Kegiatan itu sudah Jidan lakukan semenjak masih kecil dan tak pernah satu hari pun dilewatkannya. Jidan melakukannya secara beurutan dan penuh dengan kasih sayang. Ia segera menuju ke sekolah menggunakan sepeda motor yang diberikan oleh almarhum kakeknya.
*
Dia? Siapa?
Saat Jidan tiba di sekolah, tak lama kemudian hujan turun begitu deras. Seakan tak mengucapkan permisi, air hujan yang deras itu membasahi sebagian seragam Jidan yang sedang menaruh motornya di tempat parkir dan segera berlari cepat menuju koridor sekolah. Andi pun memutuskan untuk menunggu sejenak. Disaat Jidan sedang menatap kosong, tiba-tiba ada hentakan tangan yang menepak bahunya.
“Assalamualaikum di …liburan antum kemana aja?” panggil Sultan yang sedikit mengagetkan Jidan.
“Waalaikumsalam Sultan Abdullah, antum ngagetin ane aje. Di rumah aja nih, bantu-bantu ibu di toko. Gimana keluarga antum di rumah sehat?”
“Alhamdulillah sehat, ….”
Sultan punya ribuan bahan obrolan untuk bisa berbincang lebih lama lagi dengan Jidan. Bisa dimaklumi rasa kangen Sultan kepada sahabatnya yang terputus selama 3 minggu akibat libur semester. Cerita Sultan direspon dengan beberapa kata dari Jidan…
Alhamdulillah…
Kenapa…
Kok bisa…
Iya…
Subahanallah…
Percakapan ditengah suasana dingin ditemani dengan hujan deras menambah kehangatan tersendiri bagi Jidan dan Sultan yang sudah bersahabat sejak 9 tahun yang lalu.
Kriinnggg….!
Suara bel sekolah yang berbunyi begitu keras memecah perbincangan Andi dan Sultan di koridor.
“Alhamdulillah, bel juga. Ga kerasa ya.” ucap Jidan.
“Iya, masuk kelas yuk!” ajak Sultan yang begitu semangat mengajak Jidan untuk masuk kelas.
“Tapii….”
Belum selesai Andi bicara saat itu juga Sultan menggiringnya menuju kelas.
Di Kelas
Jidan menduduki kelas 11 IPA 2, kelas luas dan kondusif yang dapat menampung 40 orang siswa. Suara canda dan tawa menciptakan suasana kelas yang ramai. Jidan sangat mencintai kelas ini, menurutnya kelas yang ia duduki sekarang sangat dewasa. Siswanya mengerti kapan mereka harus aktif, ramai, ribut, dan harus menyimak guru. Seperti sebuah ruangan yang sudah diatur dengan apik sedemikian rupa.
“Assalamualaikum Jidan..”
“Selamat pagi Jidan..”
Hampir semua teman Jidan mengucapkan salam kepadanya. Di kelasnya, Ia adalah sosok remaja yang sangat disegani. Sikap yang ramah, baik hati, santun, dan dermawan yang membuat teman-temannya merasa nyaman dan senang atas kehadirannya.
“Waalaikumsalam,..” jawab Jidan dengan ramah.
Jidan dan Sultan segera menuju kursi yang masih kososng di barisan tengah. Hal kelima yang tidak dilupakan Jidan adalah selalu duduk sebangku dengan Sultan. Semenjak kelas 1 SMP, mereka selalu duduk sebangku. Saat semua siswa sedang asik dengan obrolan mereka tiba-tiba….
“Selamat pagi anak-anak.”
Seorang guru datang tanpa permisi, merubah suasana kelas yang tadinya penuh dengan canda dan tawa menjadi sunyi. Saat itu semua siswa kembali ke tempat duduknya masing-masing dan siap untuk belajar.
“Selamat pagi bu.” serentak seluruh siswa menjawab salam Bu Anis.
Bu Anis adalah guru mata pelajaran fisika. Pembawaan yang lembut dan santai membuat Jidan dan teman-temannya dapat menerima pelajaran dengan baik.
“Anak-anak, sebelum kita memulai pelajaran ada hal yang harus ibu sampaikan. Alhamdulillah, di awal semester ini kita kedatangan seorang anggota kelas baru.” jelas Bu Anis.
Keramaian di dalam kelas kembali muncul setelah Bu Anis menerangkan mengenai kehadiran siswa baru. Suasana kelas berubah seketika seperti sebuah pengadilan yang penuh pro dan kontra. Ada yang senang dengan berita tersebut dan ada yang mengeluh seperti tanda tidak setuju.
“Shhhuuutttt, diam dulu semuanya.” peringat Bu Anis kepada siswa yangsedang ramai saat itu.
“Silahkan masuk nak !” Bu Anis mempersilahkan siswa tersebut masuk ke dalam kelas.
Saat itu semua mata siswa di kelas terkonsentrasi pada satu titik yaitu pintu kelas. Seakan menunggu seorang super star yang akan naik ke atas panggung. Jidan dan teman-temannya ingin mengetahui sosok siwa baru tersebut.
Deg…deg….deg…
Seorang siswa laki-laki yang berkulit kecoklatan masuk kelas. Pembawaanya yang ramah dan santun membuat seluruh siswa di kelas menatapnya.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalah.”
Seluruh penghuni di kelas menjawab salam siswa baru itu. Hanya senyum penuh ketulusan yang menghiasi wajahnya. Tak menunggu lama, Bu Anis mempersilakannya untuk memperkenalkan diri.
“Nama saya Fathan Al-Ghifari, antum bias panggil saya Fathan. Saya berasal dari Bandung. Alasan saya pindah ke Bogor karena kedua orang tua yang pindah tempat kerjanya.” Jelas Fathan dengan panjang lebar.
“Baik kalau begitu, kamu silakan duduk di kursi kosong.” Jawab Bu Anis mempersilakan Fathan duduk.
Fathan pun mengisi kursi yang kosong di samping Deni. Tak lama setelah itu pelajaran pun dimulai. Suasana serius dan fokus terhadap pelajaran yang disampaikan mulai tercipta. Pelajarang berlangsung begitu cepat sampai waktu istirahat tiba. Seluruh siswa di dalam kelas berbondong-bondong keluar kelas.
“Dan, shalat dhuha yuk!” ajak Sultan.
“Iya, duluan aja tan ane di kelas dulu sebentar.”
Setelah seluruh siswa pergi meninggalkan kelas, Jidan mendekat ke arah kursi yang ditempati Fathan dan langsung membuat sebuah percakapan yang seru.
“Assalamualaikum than.”
“Waalaikumsalam.” Jawab Fathan seraya memberi senyum ke arah Jidan.
“Salam kenal, nama ane Jidan.”
“Iya,…Jidan. Kita shalat dhuha yuk sekalian ane mau fotocopy kertas tugas.!” ajak Fathan.
sSeketika Jidan bingung, jarang sekali ada siswa yang baru masuk sangat cepat akrab dengan lingkungan barunya. Cara dia berbicara dan raut wajahnya membuat Jidan semakin penasaran dengan Fathan.
“Yuk.” Jawab Jidan.
Jidan dan Fathan pun keluar kelas berjalan menulusuri koridor sekolah menuju masjid yang ada di ujung sana. Saat sedang berjalan tiba-tiba ada seorang siswa yang membawa minuman berlari kencang menujur ke arah Fathan. Seketika minuman itu tumpah membasahi baju dan tugas yang digengamnya.
“Arggergghh, sorry ya gua ga sengaja.”
“Iya gapapa.” Jawab Fathan dengan ramah dan lagi-lagi menebar senyumnya.
Seakan tidak membuat sebuah kesalahan siswa itu berangsur pergi dan belum jauh dari kepergiannya, Fathan pun ikut berlari mengejar dan berhasil memegang tangannya.
“Tunggu dulu, ini uangnya saya ganti.”
“Tapi kak,?!” Jawab adik kelas itu.
Tanpa berpikir panjang siswa itu langsung menerima uang yang di beri Fatahn lalu pergi begitu saja. Jidan pun menghampirinya.
“Than,kok di kasih uang? Sudah jelas dia yang salah menabrak antum.” Tanya Jidan dengan nada sedikit bingung.
“Ane gak ingin melihat kesalahan dari diri orang lain. Ane berusaha menyikapi semua hal yang terjadi dari kaca mata orang lain. Apabila hal itu menyakitkiti perasaan kita, sangat mungkin hal itu dapat menyakitkiti perasaan orang lain. Kalu ane jadi dia, ane akan merasa kesal kenapa ada orang itu di saat ane berlari. Hanya rasa kesal kenapa minuman segar yang hendak akan diminum tumpah begitu saja dengan sia-sia. Maka dari itu ane mau menghilangkan perasaan itu semua.” Jelas Fathan dengan panjang lebar.
Tak ada satu kata pun yang terlontar dari mulut Jidan. Raut wajah yang menggambarkan rasa kagum dan syukur. Sampai hatinya berbisik `Alhamdulillah, bersyukur kini pada Mu Illahi teman yang dicari selama ini telah klu temui.`
*
Perpustakaan
Sudah 10 bulan Jidan dan Fathan saling mengenal satu sama lain. Semenjak kepergian Sultan ke Inggris, Jidan jadi semakin akrab dengan Fathan. Setiap ada tugas, Fathan tak segan-segan mengingatkan Jidan untuk mengerjakannya. Tak hanya saling mengingatkan dalam hal tugas tapijuga ibadah. Terkadang, Jidan dan Fathan berlomba-lomba dalam hal ibadah.
Hari ini langit begitu cerah. Fathan memberi pesan elektronik yang berisi `Assalamulaiakum dan, ane tunggu ya di perpustakaan sekolah. Ada beberapa tugas yang belum kita selesaikan. Wassalamualaikum.` Tiba-tiba Jidan yang sedang mengendarai sepeda motornya tiba di perpustakaan dan langsung masuk.
“Assalamualaikum, than!” salam Jidan seraya memanggil nama Fathan.
“Waalaikumsalam, waduh telat nih dan. Ane udah selesai lagi.” Jawab Fathan
“Astagfirullah, bener than?” Tanya Jidan dengan raut wajah yang penuh kehawatiran.
“Heheh, engga kok. Baru selesai satu tugas maksudnya. Hehe.” Jawab Fathan sambil bercanda.
“ Huh, dikirain udah selesai semua.”Jawab Jidan.
Jidan dan Fathan pun mengerjakan tugas dengan diskusi dan saling membantu agar tugas yang diberikan cepat selesai. Tak terasa tiga jam berlalu dengan begitu cepat. Sebelum mereka hendak meninggalkan perpustakaan, Jidan dan Fathan segera membereskan buku yang telah mereka gunakan. Karena merasa lelah, Jidan melemparkan buku kea rah rak. Tapi buku itu tidak tersimpan apik di tempatnya dan seketika langsung jatuh ke lantai. Tiba-tiba Fathan mengambil buku tersebut dan menaruh pada tempatnya.
“Kita akan dihargai apabila menghargai apa yang ada di sekitar kita. Tak akan pernah satu persen pun keberkahan yang kita dapat apabila tidak menghargai ilmu yang diberikan-Nya.”Ucap Fathan menginatkan Jidan.
Lagi-lagi Jidan dibuat tak berkutik atas kelakuannya. Nasihat yang diberika Fathan seperti sebuah azan. Allah tidak akan pernah bosan menginatkan hamba-hambanya untuk shalat. Begitu juga Fathan dia tidak pernah bosan mengingatkan suatu hal walaupun hal kecil.
“Syukron, sahabatku adalah orang yang tak pernah memuji ku. Tapi dia yang selalu mengingatkan perbuatanku.” Jawab Jidan dengan penuh kehangatan.
Air mata tak ragu untuk menunjukan kehadirannya. Air mata itu menerobos kelopak dari dua pasang mata yang saling berhadapan.
*
Air Mataku
Hari ini langit begitu cerah. Jidan pun segera masuk kekelas dengan memikul semangat menuntut ilmu yang begitu besar. Tapi ada hal berbeda yang dirasakan Jidan Hari ini. Dia tak melihat kehadiran Fathan. Jidan mengambil HPnya yang ada di saku celana untuk menelfon Fathan. Belum sempat membuka daftar kontak, layar home di HPnya menampilkan sebuah pesan baru yang masuk sekita jam 7 tepat.
Pesan itu berisi `Asslamaualaikum dan, afwan kayaknya hari ini ane sedikit telat. Di jalan macet banget sampai motor aja ga bias lewat. Oh ya, jangan lupa ya ada tugas yang harus dikumpulkan minggu depan. Ada matematika, ekonomi, fisika,kimia, dan biologi. Supaya ga numpuk, nanti sore antum bias ke rumah ane kan? Kita ngerjain bareng aja di sana. Wasaalamualaikum.`
Semua mata pelajaran Jidan ikuti dengan hati penuh hawatir dan gelisah. Ternyata Fathan tak hadir sampai waktu pelajaran selesai. Pelajaran pun berakhir tepat pukul 2. Tanpa berpikir panjang Jidan langsung pulang ke rumahnya untuk mengambil bahan tugas yang akan dikerjakan bersama Fathan. Kecepatan motor yang tinggi menemani Jidan yang sedang menuju ke rumah Fathan. Sesampai di rumah sahabatnya itu, ada banyak orang yang menghiasi rumah Fathan. Bendera kuning juga ikut menghiasi di setiap sudut rumah Fathan.
Raut wajah Jidan yang penuh kecemasan langsung memasuki rumah Fathan dengan tergesa-geas. Di depan rumah terlihat ibu Fathan yang sedang menangis. Jidan langsung menghampiri ibu Fathan.
“Ass..alamu ..sala ..kum bu, ada Fathan nya?” Tanya Jidan dengan nada terbata-bata.
“Walaikumsalam nak Jidan.” Jawab ibu Fathan yang diiringi isak tangis.
“Bu Fathan kemana?! Fathan mana bu!?” Tanya Jidan dengan hawatir dan mata yang sedikit berkaca-kaca.
“Fathan….Fath…”
“Fathan kenapa bu?! Cepat kasih tau saya!”
“Fathan meninggal nak Jidan. Ia kecelakaan motor sekita puku 10.” Jawab ibu Fathan yang diiringi tangis.
“Apa?! Meninggal?!” Tanya Jidan yang sangat terkejut.
Jidan pun tak dapat menahan air matanya. Ia langsung menerobos segerombolan orang yang ada di depan rumah. Setelah Jidan sampai di ruang tamu, di hadapannya terlihat jelas sebuah jasad terbaring lemah tak bernyawa yang diselimuti kain batik. Jidan langsung menghampiri jasad tersebut dan membuka penutup wajahnya. Kesedihan menenggelamkan Jidan saat ia sadar bahwa yang dilihatnya benar-benar sahabatnya`Fathan`. Jidan menggoncangkan jasad tersebut.
“T..ha….n.., ane ba..wa..tugas ya..ng mau kita kerj..ain nan.ti sore.” Ucap Jidan dengan tangisan seperti menggap bahwa Fathan masih hidup.
“Than..fATHANNN!.”Teriak Jidan dengan penuh kesedihan.
Jidan tak henti-hentinya menggoncangkan jasad Fathan.
“Udah nak, sudah….kalau dua-duanya saleh mudah bagi Allah untuk mempertemukan kalian di surga nanti.” Jawab ibu Fatahn.
Sore itu juga tanggal 20 Maret 2013 pukul 14.00 Fathan dimakamkan. Kepergian Fathan dalam hidup Jidan membuatnya terpukul. Saat semua orang sudah meninggalkan area pemakaman, satu kalimat yang keluar dari bibir Jidan saat itu adalah `Aku mencintaimu karena Allah sahabatku` dan ia selalu mengatakannya setiap kali mengunjungi makan Fathan.
*
Suatu hari ku kan pergi
Entah kemana arahnya
Ku harap engkau slalu mengingatnya
Disaat kita tersenyum bersama
Perpisahan yang akan terjadi
Bukanlah akhir dari segalanya
Kita pasti kan bertemu kembali
Untukl mengulang hari ini
Wahai sahabat
Ku merindukanmu
Ku harap kita bertemu kembali
Kenangan yang indah yang kita lalui
Tak akan pernah ku lupakan.