Putihku
Aku
tidur di atas pasir dengan kedua telapak tangan yang menjadi penyangga.
Saat itu, hanya tatapan kosong yang tercipta. Dan dia berhasil
menghipnotisku atas keindahan yang dipancarkannya. Aku menikmati suara
deburan ombak yang begitu merdu. Batu karang yang berada di sebelah kiri
dan kanan seolah siap menahan deburan ombak yang datang setiap saat.
Pasirpun tak ragu memberikan tapaknya atas apa yang aku pijak. Tapi,
pasir tak dapat sepenuhnya memenuhi pijakanku karena setiap saat ombak
menerpa dan menghapus semuanya. Pantai yang indah itu tak sanggup aku
jelajahi sepenuhnya. Hanya bahagia, damai, dan tentram yang dapat aku
rasakan. Sungguh tak terlukiskan karya tangan Allah yang begitu romantis
ini.
Apakah
kertasku akan seperti pantai itu ? yang hanya tertuliskan kebahagiaan,
keindahan, kedamaian, dan penuh kenikmatan ? aku hanya berharap kertasku
tak tertuliskan tinta kekecewaan, sakit, dan derita. Tapi aku tak dapat
mengatur kehidupanku sendiri, ada zat yang lebih berhak mengatur
segalanya. Zat itu adalah Allah SWT. Aku hanya seorang hamba dititipkan
sepucuk surat amanah yang berisi perintah untuk selalu berikhtiar di
jalan-NYA. Aku memutuskan untuk berhenti memikirkan hal itu dan kembali
menikmati indahnya pantai.
Kriiiinnngggg…!
Bunyi jam beker berhasil membangunkan Jidan yang sedang berjelajah dalam indahnya bunga tidur. Jidan pun langsung melirik ke arah jam yang ada di samping kasur.
“Alhamdulillah masih jam setengah 4, masih bisa shalat lail.” ucap Jidan.
Tak
sedikitpun tersirat dalam benak Jidan untuk menunda melaksanakan shalat
yang tak pernah dilewatkan oleh Nabi Muhammad SAW. Menikmati
kesendirian dan bermesraan dengan Sang Pencipta melalui dzikir, lantunan
ayat suci, dan doa membuat Jidan tak henti-hentinya meneteskan air
mata. Jidan yang sedang menikmati lezatnya ibadah membuatnya terbawa
sampai dipenghujung sepertiga malam, menandakan bahwa tak lama lagi azan
subuh akan dikumandangkan. Setelah azan dikumandangkan, Jidan segera
menuju ke bawah dan segera menuju masjid untuk melaksanakan shalat subuh
berjamaah.
“Bu, Jidan
pergi ke masjid dulu ya, Assalamualaikum.” ucap Jidan kepada ibunya
seraya meminta izin dengan nada cepat dan tergesa-gesa. Seakan tak ingin
tertinggal satu rakaat pun.
“Iya hati-hati ya nak. Waalaikumsalam.” jawab ibu Jidan dengan nada lemah lembut dan penuh dengan senyum kebanggaan.
Itulah
buah dari didikan kedua orang tua Jidan. Yang bisa dibilang sudah
mendarah daging dalam dirinya. Tak sedikit ajaran agama yang ditanamkan
di dalam diri Jidan. Kedua orang tua Jidan tak berharap penuh kepada
kesuksesannya menggapai cita-cita, yang paling mereka dambakan hanyalah
anak yang saleh. Dan satu kalimat yang selalu ada di hati ibu Jidan
disaat-saat seperti ini adalah “Anaku penyejuk hatiku”. Tak lama kemudian Jidan datang dengan mengetuk pintu.
“Assalamualaikum..” salam Jidan.
“Waalaikumsalam wr.wb. Jidan”
“Bu, ayah kemana sih?” Jidan bertanya dengan sedikit bingung.
Hal pertama
yang menjadi kebiasaan saat Jidan pulang dari mesjid adalah saat itu
juga ayahnya sudah pergi kerja. Keinginan Jidan untuk bisa mengantarkan
ayahnya pergi sampai gerbang rumah belum bisa tersampaikan.
“Kok ayah pergi kerjanya pagi banget bu ?” tanya Jidan dengan heran.
“Ayah
kamu kan naik jabatan di kantornya, itu yang meyebabkan tanggung
jawabnya semakin besar. Kalo kamu mau ketemu kan bisa malam nanti.”
jelas ibu Jidan.
“Jidan ngerti kok, bagaimanapun ayah lakukan ini untuk kebaikan kita semua.”
“Nah, itu kamu ngerti. Ibu masak dulu ya untuk sarapan kamu pagi ini.” ucap ibu.
Inilah
kebiasaan ibu Jidan, setelah subuh usai beliau bergegas menuju dapur
untuk membuat sarapan. Ibu tahu hari ini Jidan harus pergi ke sekolah
lebih pagi dari biasanya, karena hari ini adalah tahun ajaran semester
baru. Belum selangkah ibu Jidan melangkah menuju dapur tiba-tiba ada
tangan yang memegang lengan ibu Jidan.
“Engga
perlu bu, Jidan bisa kok bikin sarapan sendiri.Lebih baik sekarang ibu
siap-siap buka toko kan udah mau terang.” ucap Jidan dengan lemah lembut
mencegah ibunya untuk membuat sarapan.
“Iya, makasih ya nak. Kalu begitu ibu siap-siap dulu ya.”
“Iya, sama-sama bu.”
Saat
itu, Jidan segera menuju ke kamarnya. Teringat bahwa ia belum sempat
menyiapkan segala perlengkapan sekolah yang harus dibawa hari ini
seperti buku, kalkulator, alat tulis, dan masih banyak lagi. Setelah
meyiapkan segala perlengkapan untuk sekolah, Jidan duduk di pinggir
kasurnya dan sambil melihat jam.
“Alhamdulillah masih jam 05.15, masih bisa baca almatsurat.”
Hal kedua
yang membuat Jidan beda banget sama pelajar lainnya. Dia tidak pernah
menunggu waktu sekolah dengan tidur. Jidan selalu berusaha melakukan
hal-hal posotif untuk mengawali harinya. Dan kegiatan yang tak pernah
dilewatkannya selepas subuh adalah berdzikir dengan membaca al-matsurat.
Setelah 10 menit Jidan membaca al-matsurat, ia pun bergegas menuju
kamar mandi. Tak lama setelah itu, Jidan langsung menuju ke kamarnya dan
segera memakai seragam hari Senin. Astagfirullah, belum bikin sarapan. Terpikir dalam otak Andi bahwa dia belum membuat sarapan dan segera menuju dapur saat itu juga.
“Bu, telor abis ya? tanya Jidan kepada ibunya sambil membuka pintu kulkas.
“Iya, ya sudah ibu beli dulu di warung sebentar ya nak.” jawab ibu sambil terburu-buru.
Lagi-lagi Jidan mencegah ibunya untuk pergi ke warung. Hal ketiga yang sangat Jidan tidak sukai adalah melihat ibunya bersusah payah untuknya.
“Ga
usah bu, kan masih ada bahan makanan yang lain. Nah sekarang giliran
Jidan yang masakin sarapan buat ibu hehe.” jawab Andi dengan sedikit
menyeringai.
“Iya, makasih ya sayang.” jawab ibu
Jidan
yang tidak mengetahui teknik memasak yang pada akhirnya hanya
menggoreng tahu dan ikan saja. Berbekal sedikit malu dan tanpa ragu
Jidan membawa makanan hasil kreasinya ke meja makan.
“Yaahh bu, maaf ya cuma bisa masak ini aja.” keluh Jidan yang sedikit kecewa atas apa yang ia masak.
“Jidan, apapun yang kamu masak insyaallah ibu akan makan kok.” Jawab ibu sambil sedikit menasehati Jidan.
Menikmati
saat-saat kebersamaan bersama ibunya sangat dinikmati oleh Jidan.
Walaupun ketidak lengkapan yang dirasakan Jidan tanpa ayahnya. Ia pun
terhanyut dalam suasana meja makan yang penuh dengan canda dan tawa.
Saat Jidan melihat jam tangan, ia pun tersedak karena kaget melihat
waktu yang berjalan begitu cepat.
“Bu, Jidan pergi sekolah dulu ya. Assalamualaikum.” izin Jidan sambil berlari menuju pintu gerbang.
“Waalaikumsalam, hati-hati ya nak.”
Baru sampai ke pintu gerbang rumah, Jidan bahwa ada sesuatu yang ditinggalkannya. Dengan cepat Jidan berlari masuk ke dalam rumah.
“Astagfirullah, ada apa nak?” tanya ibu yang sedikit kaget melihat Jidan kembali ke rumah sambil berlari terengah-engah.
“Ada yang lupa bu….”
“Kamu nih, makasih ya sayang. Hati-hati ya, jangan ngebut” ibu mengucapkan terimakasih sambil terseyum manis kepada Jidan.
“Assalamualaikum bu.”
Hal keempat yang tidak
pernah Jidan lewatkan sebelum ia pergi ke sekolah adalah cium tangan
ibu, meluk ibu, cium pipi kanan, lalu kiri, hidung Jidan yang menyentuh
hidung ibunya, dan diakhiri dengan mengucapkan salam. Kegiatan itu sudah
Jidan lakukan semenjak masih kecil dan tak pernah satu hari pun
dilewatkannya. Jidan melakukannya secara beurutan dan penuh dengan kasih
sayang. Ia segera menuju ke sekolah menggunakan sepeda motor yang
diberikan oleh almarhum kakeknya.
*
Dia? Siapa?
Saat
Jidan tiba di sekolah, tak lama kemudian hujan turun begitu deras.
Seakan tak mengucapkan permisi, air hujan yang deras itu membasahi
sebagian seragam Jidan yang sedang menaruh motornya di tempat parkir dan
segera berlari cepat menuju koridor sekolah. Andi pun memutuskan untuk
menunggu sejenak. Disaat Jidan sedang menatap kosong, tiba-tiba ada
hentakan tangan yang menepak bahunya.
“Assalamualaikum di …liburan antum kemana aja?” panggil Sultan yang sedikit mengagetkan Jidan.
“Waalaikumsalam
Sultan Abdullah, antum ngagetin ane aje. Di rumah aja nih, bantu-bantu
ibu di toko. Gimana keluarga antum di rumah sehat?”
“Alhamdulillah sehat, ….”
Sultan
punya ribuan bahan obrolan untuk bisa berbincang lebih lama lagi dengan
Jidan. Bisa dimaklumi rasa kangen Sultan kepada sahabatnya yang
terputus selama 3 minggu akibat libur semester. Cerita Sultan direspon
dengan beberapa kata dari Jidan…
Alhamdulillah…
Kenapa…
Kok bisa…
Iya…
Subahanallah…
Percakapan
ditengah suasana dingin ditemani dengan hujan deras menambah kehangatan
tersendiri bagi Jidan dan Sultan yang sudah bersahabat sejak 9 tahun
yang lalu.
Kriinnggg….!
Suara bel sekolah yang berbunyi begitu keras memecah perbincangan Andi dan Sultan di koridor.
“Alhamdulillah, bel juga. Ga kerasa ya.” ucap Jidan.
“Iya, masuk kelas yuk!” ajak Sultan yang begitu semangat mengajak Jidan untuk masuk kelas.
“Tapii….”
Belum selesai Andi bicara saat itu juga Sultan menggiringnya menuju kelas.
Di Kelas
Jidan menduduki kelas 11 IPA 2, kelas
luas dan kondusif yang dapat menampung 40 orang siswa. Suara canda dan
tawa menciptakan suasana kelas yang ramai. Jidan sangat mencintai kelas
ini, menurutnya kelas yang ia duduki sekarang sangat dewasa. Siswanya
mengerti kapan mereka harus aktif, ramai, ribut, dan harus menyimak
guru. Seperti sebuah ruangan yang sudah diatur dengan apik sedemikian
rupa.
“Assalamualaikum Jidan..”
“Selamat pagi Jidan..”
Hampir
semua teman Jidan mengucapkan salam kepadanya. Di kelasnya, Ia adalah
sosok remaja yang sangat disegani. Sikap yang ramah, baik hati, santun,
dan dermawan yang membuat teman-temannya merasa nyaman dan senang atas
kehadirannya.
“Waalaikumsalam,..” jawab Jidan dengan ramah.
Jidan dan Sultan segera menuju kursi yang masih kososng di barisan tengah. Hal kelima yang
tidak dilupakan Jidan adalah selalu duduk sebangku dengan Sultan.
Semenjak kelas 1 SMP, mereka selalu duduk sebangku. Saat semua siswa
sedang asik dengan obrolan mereka tiba-tiba….
“Selamat pagi anak-anak.”
Seorang
guru datang tanpa permisi, merubah suasana kelas yang tadinya penuh
dengan canda dan tawa menjadi sunyi. Saat itu semua siswa kembali ke
tempat duduknya masing-masing dan siap untuk belajar.
“Selamat pagi bu.” serentak seluruh siswa menjawab salam Bu Anis.
Bu
Anis adalah guru mata pelajaran fisika. Pembawaan yang lembut dan
santai membuat Jidan dan teman-temannya dapat menerima pelajaran dengan
baik.
“Anak-anak,
sebelum kita memulai pelajaran ada hal yang harus ibu sampaikan.
Alhamdulillah, di awal semester ini kita kedatangan seorang anggota
kelas baru.” jelas Bu Anis.
Keramaian
di dalam kelas kembali muncul setelah Bu Anis menerangkan mengenai
kehadiran siswa baru. Suasana kelas berubah seketika seperti sebuah
pengadilan yang penuh pro dan kontra. Ada yang senang dengan berita
tersebut dan ada yang mengeluh seperti tanda tidak setuju.
“Shhhuuutttt, diam dulu semuanya.” peringat Bu Anis kepada siswa yangsedang ramai saat itu.
“Silahkan masuk nak !” Bu Anis mempersilahkan siswa tersebut masuk ke dalam kelas.
Saat
itu semua mata siswa di kelas terkonsentrasi pada satu titik yaitu
pintu kelas. Seakan menunggu seorang super star yang akan naik ke atas
panggung. Jidan dan teman-temannya ingin mengetahui sosok siwa baru
tersebut.
Deg…deg….deg…
Seorang
siswa laki-laki yang berkulit kecoklatan masuk kelas. Pembawaanya yang
ramah dan santun membuat seluruh siswa di kelas menatapnya.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalah.”
Seluruh
penghuni di kelas menjawab salam siswa baru itu. Hanya senyum penuh
ketulusan yang menghiasi wajahnya. Tak menunggu lama, Bu Anis
mempersilakannya untuk memperkenalkan diri.
“Nama
saya Fathan Al-Ghifari, antum bias panggil saya Fathan. Saya berasal
dari Bandung. Alasan saya pindah ke Bogor karena kedua orang tua yang
pindah tempat kerjanya.” Jelas Fathan dengan panjang lebar.
“Baik kalau begitu, kamu silakan duduk di kursi kosong.” Jawab Bu Anis mempersilakan Fathan duduk.
Fathan
pun mengisi kursi yang kosong di samping Deni. Tak lama setelah itu
pelajaran pun dimulai. Suasana serius dan fokus terhadap pelajaran yang
disampaikan mulai tercipta. Pelajarang berlangsung begitu cepat sampai
waktu istirahat tiba. Seluruh siswa di dalam kelas berbondong-bondong
keluar kelas.
“Dan, shalat dhuha yuk!” ajak Sultan.
“Iya, duluan aja tan ane di kelas dulu sebentar.”
Setelah
seluruh siswa pergi meninggalkan kelas, Jidan mendekat ke arah kursi
yang ditempati Fathan dan langsung membuat sebuah percakapan yang seru.
“Assalamualaikum than.”
“Waalaikumsalam.” Jawab Fathan seraya memberi senyum ke arah Jidan.
“Salam kenal, nama ane Jidan.”
“Iya,…Jidan. Kita shalat dhuha yuk sekalian ane mau fotocopy kertas tugas.!” ajak Fathan.
sSeketika
Jidan bingung, jarang sekali ada siswa yang baru masuk sangat cepat
akrab dengan lingkungan barunya. Cara dia berbicara dan raut wajahnya
membuat Jidan semakin penasaran dengan Fathan.
“Yuk.” Jawab Jidan.
Jidan
dan Fathan pun keluar kelas berjalan menulusuri koridor sekolah menuju
masjid yang ada di ujung sana. Saat sedang berjalan tiba-tiba ada
seorang siswa yang membawa minuman berlari kencang menujur ke arah
Fathan. Seketika minuman itu tumpah membasahi baju dan tugas yang
digengamnya.
“Arggergghh, sorry ya gua ga sengaja.”
“Iya gapapa.” Jawab Fathan dengan ramah dan lagi-lagi menebar senyumnya.
Seakan
tidak membuat sebuah kesalahan siswa itu berangsur pergi dan belum jauh
dari kepergiannya, Fathan pun ikut berlari mengejar dan berhasil
memegang tangannya.
“Tunggu dulu, ini uangnya saya ganti.”
“Tapi kak,?!” Jawab adik kelas itu.
Tanpa berpikir panjang siswa itu langsung menerima uang yang di beri Fatahn lalu pergi begitu saja. Jidan pun menghampirinya.
“Than,kok di kasih uang? Sudah jelas dia yang salah menabrak antum.” Tanya Jidan dengan nada sedikit bingung.
“Ane gak ingin melihat kesalahan dari diri orang lain. Ane berusaha menyikapi semua hal yang
terjadi dari kaca mata orang lain. Apabila hal itu menyakitkiti
perasaan kita, sangat mungkin hal itu dapat menyakitkiti perasaan orang
lain. Kalu ane jadi dia, ane akan merasa kesal kenapa ada orang itu di
saat ane berlari. Hanya rasa kesal kenapa minuman segar yang hendak akan
diminum tumpah begitu saja dengan sia-sia. Maka dari itu ane mau
menghilangkan perasaan itu semua.” Jelas Fathan dengan panjang lebar.
Tak
ada satu kata pun yang terlontar dari mulut Jidan. Raut wajah yang
menggambarkan rasa kagum dan syukur. Sampai hatinya berbisik
`Alhamdulillah, bersyukur kini pada Mu Illahi teman yang dicari selama
ini telah klu temui.`
*
Perpustakaan
Sudah
10 bulan Jidan dan Fathan saling mengenal satu sama lain. Semenjak
kepergian Sultan ke Inggris, Jidan jadi semakin akrab dengan Fathan.
Setiap ada tugas, Fathan tak segan-segan mengingatkan Jidan untuk
mengerjakannya. Tak hanya saling mengingatkan dalam hal tugas tapijuga
ibadah. Terkadang, Jidan dan Fathan berlomba-lomba dalam hal ibadah.
Hari
ini langit begitu cerah. Fathan memberi pesan elektronik yang berisi
`Assalamulaiakum dan, ane tunggu ya di perpustakaan sekolah. Ada
beberapa tugas yang belum kita selesaikan. Wassalamualaikum.` Tiba-tiba
Jidan yang sedang mengendarai sepeda motornya tiba di perpustakaan dan
langsung masuk.
“Assalamualaikum, than!” salam Jidan seraya memanggil nama Fathan.
“Waalaikumsalam, waduh telat nih dan. Ane udah selesai lagi.” Jawab Fathan
“Astagfirullah, bener than?” Tanya Jidan dengan raut wajah yang penuh kehawatiran.
“Heheh, engga kok. Baru selesai satu tugas maksudnya. Hehe.” Jawab Fathan sambil bercanda.
“ Huh, dikirain udah selesai semua.”Jawab Jidan.
Jidan
dan Fathan pun mengerjakan tugas dengan diskusi dan saling membantu
agar tugas yang diberikan cepat selesai. Tak terasa tiga jam berlalu
dengan begitu cepat. Sebelum mereka hendak meninggalkan perpustakaan,
Jidan dan Fathan segera membereskan buku yang telah mereka gunakan.
Karena merasa lelah, Jidan melemparkan buku kea rah rak. Tapi buku itu
tidak tersimpan apik di tempatnya dan seketika langsung jatuh ke lantai.
Tiba-tiba Fathan mengambil buku tersebut dan menaruh pada tempatnya.
“Kita
akan dihargai apabila menghargai apa yang ada di sekitar kita. Tak akan
pernah satu persen pun keberkahan yang kita dapat apabila tidak
menghargai ilmu yang diberikan-Nya.”Ucap Fathan menginatkan Jidan.
Lagi-lagi
Jidan dibuat tak berkutik atas kelakuannya. Nasihat yang diberika
Fathan seperti sebuah azan. Allah tidak akan pernah bosan menginatkan
hamba-hambanya untuk shalat. Begitu juga Fathan dia tidak pernah bosan
mengingatkan suatu hal walaupun hal kecil.
“Syukron, sahabatku
adalah orang yang tak pernah memuji ku. Tapi dia yang selalu
mengingatkan perbuatanku.” Jawab Jidan dengan penuh kehangatan.
Air mata tak ragu untuk menunjukan kehadirannya. Air mata itu menerobos kelopak dari dua pasang mata yang saling berhadapan.
*
Air Mataku
Hari
ini langit begitu cerah. Jidan pun segera masuk kekelas dengan memikul
semangat menuntut ilmu yang begitu besar. Tapi ada hal berbeda yang
dirasakan Jidan Hari ini. Dia tak melihat kehadiran Fathan. Jidan
mengambil HPnya yang ada di saku celana untuk menelfon Fathan. Belum
sempat membuka daftar kontak, layar home di HPnya menampilkan sebuah pesan baru yang masuk sekita jam 7 tepat.
Pesan
itu berisi `Asslamaualaikum dan, afwan kayaknya hari ini ane sedikit
telat. Di jalan macet banget sampai motor aja ga bias lewat. Oh ya,
jangan lupa ya ada tugas yang harus dikumpulkan minggu depan. Ada
matematika, ekonomi, fisika,kimia, dan biologi. Supaya ga numpuk, nanti
sore antum bias ke rumah ane kan? Kita ngerjain bareng aja di sana.
Wasaalamualaikum.`
Semua
mata pelajaran Jidan ikuti dengan hati penuh hawatir dan gelisah.
Ternyata Fathan tak hadir sampai waktu pelajaran selesai. Pelajaran pun
berakhir tepat pukul 2. Tanpa berpikir panjang Jidan langsung pulang ke
rumahnya untuk mengambil bahan tugas yang akan dikerjakan bersama
Fathan. Kecepatan motor yang tinggi menemani Jidan yang sedang menuju ke
rumah Fathan. Sesampai di rumah sahabatnya itu, ada banyak orang yang
menghiasi rumah Fathan. Bendera kuning juga ikut menghiasi di setiap
sudut rumah Fathan.
Raut
wajah Jidan yang penuh kecemasan langsung memasuki rumah Fathan dengan
tergesa-geas. Di depan rumah terlihat ibu Fathan yang sedang menangis.
Jidan langsung menghampiri ibu Fathan.
“Ass..alamu ..sala ..kum bu, ada Fathan nya?” Tanya Jidan dengan nada terbata-bata.
“Walaikumsalam nak Jidan.” Jawab ibu Fathan yang diiringi isak tangis.
“Bu Fathan kemana?! Fathan mana bu!?” Tanya Jidan dengan hawatir dan mata yang sedikit berkaca-kaca.
“Fathan….Fath…”
“Fathan kenapa bu?! Cepat kasih tau saya!”
“Fathan meninggal nak Jidan. Ia kecelakaan motor sekita puku 10.” Jawab ibu Fathan yang diiringi tangis.
“Apa?! Meninggal?!” Tanya Jidan yang sangat terkejut.
Jidan
pun tak dapat menahan air matanya. Ia langsung menerobos segerombolan
orang yang ada di depan rumah. Setelah Jidan sampai di ruang tamu, di
hadapannya terlihat jelas sebuah jasad terbaring lemah tak bernyawa yang
diselimuti kain batik. Jidan langsung menghampiri jasad tersebut dan
membuka penutup wajahnya. Kesedihan menenggelamkan Jidan saat ia sadar
bahwa yang dilihatnya benar-benar sahabatnya`Fathan`. Jidan
menggoncangkan jasad tersebut.
“T..ha….n..,
ane ba..wa..tugas ya..ng mau kita kerj..ain nan.ti sore.” Ucap Jidan
dengan tangisan seperti menggap bahwa Fathan masih hidup.
“Than..fATHANNN!.”Teriak Jidan dengan penuh kesedihan.
Jidan tak henti-hentinya menggoncangkan jasad Fathan.
“Udah nak, sudah….kalau dua-duanya saleh mudah bagi Allah untuk mempertemukan kalian di surga nanti.” Jawab ibu Fatahn.
Sore
itu juga tanggal 20 Maret 2013 pukul 14.00 Fathan dimakamkan. Kepergian
Fathan dalam hidup Jidan membuatnya terpukul. Saat semua orang sudah
meninggalkan area pemakaman, satu kalimat yang keluar dari bibir Jidan
saat itu adalah `Aku mencintaimu karena Allah sahabatku` dan ia selalu
mengatakannya setiap kali mengunjungi makan Fathan.
*
Suatu hari ku kan pergi
Entah kemana arahnya
Ku harap engkau slalu mengingatnya
Disaat kita tersenyum bersama
Perpisahan yang akan terjadi
Bukanlah akhir dari segalanya
Kita pasti kan bertemu kembali
Untukl mengulang hari ini
Wahai sahabat
Ku merindukanmu
Ku harap kita bertemu kembali
Kenangan yang indah yang kita lalui
Tak akan pernah ku lupakan.